Tuesday, January 7, 2014

Asal Muasal Shalat disebut Sembahyang ?

Ketika Maharaja Purnawarman (raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M)), berhasil dalam upaya penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km), ia mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana (sumber :  Sunda : Arti dan Pandangan Hidup).
Apa yang dilakukan Maharaja Purnawarman, sangat mirip dengan Ritual Qurban yang dilakukan Penganut Millah Ibrahim. Peristiwa ini memunculkan pendapat, kerajaan Tarumanegara sejatinya adalah penganut Braham (ajaran monotheime peninggalan Nabi Ibrahim), dan bukan penganut agama Hindu, yang jelas-jelas sangat menentang pengorbanan dengan hewan sapi (Sumber : Forum Republika).
Hal ini sebagaimana tertulis pada buku Fa Xian, Catatan Mengenai Negeri-negeri Budha (PT Ilmu Buana Populer, Jakarta 2005), di halaman 15 :
Didalamnya berisikan catatan Fa Xian/Fa Shien sepulang dari India di era tahun ke-7 Kaisar Xiyi (411M). Pada persinggahannya selama 5 bulan itu ia menulis…
Kami tiba di sebuah negeri bernama Yapoti (Jawa dan atau Sumatera) di negeri itu Agama Braham sangat berkembang, sedangkan Buddha tidak seberapa pengaruhnya.

Monotheime Masyarakat Sunda
Dalam konsepsi teologis orang Sunda pra Hindu, hyang (sanghyang, sangiang) adalah Sang Pencipta (Sanghyang Keresa) dan Yang Esa (Batara Tunggal) yang menguasai segala macam kekuatan, kekuatan baik ataupun kekuatan jahat yang dapat mempengaruhi roh-roh halus yang sering menetap di hutan, di sungai, di pohon, di batu atau di tempat-tempat lainnya.
Hyang mengusai seluruh roh-roh tersebut dan mengendalikan seluruh kekuatan alam. Pada masa masuknya pengaruh Hindu, konsep ke-esa-an hyang terpelihara karena semua dewa tunduk dan takluk pada hyang ini, kekuatannya dianggap melebihi dewa-dewa yang datang kemudian. Dengan kata lain, orang-orang Sunda pra Hindu-Budha sudah menganut faham monoteistis dimana hyang dihayati sebagai maha pencipta dan penguasa tunggal di alam.

Konsep Monotheisme, juga tergambar di dalam hirarki kepatuhan pada Naskah Siksakandang Karesian, yang berisi Pasaprebakti (Sepuluh Tingkat Kesetiaan), yang isinya sebagai berikut : “Anak satia babakti ka bapa; pamajikan satia babakti ka salaki; kawala satia babakti ka dunungan; somah satia babakti ka wado; wado satia babakti ka mantri; mantri satia babakti kanu manganan (komandan); nu nanganan satia babakti ka mangkubumi; mangkubumi satia babakti ka raja; raja satia babakti ka dewata; dewata satia babakti ka hyang.
Konsepsi ini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam, yaitu Allah, sebagai Dzat Maha Pencipta. Dan ketika muncul proses Islamisasi di Nusantara. Istilah sembahyang pun lahir dari tradisi ritus menyembahHyang (Yang Tunggal), sama dengan shalat menyembah Allah Yang Maha Esa di dalam Islam (Sumber : Menjawab Misteri Kelangkaan Candi di Tatar Sunda).
WaLlahu a’lamu bishshawab
Catatan :
Keberadaan ajaran Monotheisme dalam masyarakat Sunda, kuat dugaan tidak lepas dari keterkaitan historisnya, dengan salah seorang Pelopor Monotheisme, Nabi Ibrahim.
Hubungan historis tersebut, bisa terlihat dari salah seorang Leluhur masyarakat Sunda, yang bernama Dewawarman I (Pendiri Kerajaan Salakanagara), yang tidak lain seorang perantau dari Pallawa, Bharata (India).
Untuk sama dipahami, awal mula Bangsa Pallawa berasal dari Tanah Persia, dan susur galurnya akan sampai kepada zuriat Nabi Ibrahim as. (Sumber : (connection) Majapahit, Pallawa dan Nabi Ibrahim ? ).
Demikian juga, Leluhur masyarakat Sunda bernama Ajisaka, yang diperkirakan berasal dari Negeri Saka (Sakas), dimana silsilah Bangsa Sakas juga akan bertemu kepada Keluarga Nabi Ibrahim as. (Sumber : Legenda Ajisaka, mengungkap zuriat Nabi Ishaq di Nusantara).

Wallahu'alam bisshawab

No comments:

Post a Comment

My Blog List